Musisi Indonesia yang terkenal karena gaya kepenulisan lagunya. Baskara Putra menggebrak lanskap musik Indonesia dengan lewat kosakata dan lirik hiperbola. Ia juga salah satu yang membawa persilangan genre dalam bermusik. Melalui proyek solo Hindia, Baskara mencampur berbagai gaya musik. Album Menari dengan Bayangan datang dengan lagu balada, rock, pop, hingga elektronik. Namun alih-alih bikin kening berkerut, album tersebut telah menjadi soundtrack untuk kaum muda di berbagai penjuru Indonesia. Alhasil album Menari dengan Bayangan memperoleh satu juta pendengar di Spotify dalam waktu kurang dari sembilan bulan. Hindia turut dinominasikan sebagai Pendatang Baru Terbaik-Terbaik (AMI Awards 2019), Album Terbaik untuk Menari Dengan Bayangan (AMI Awards 2020), Artis Solo Alternatif (AMI Awards 2020), dan Lagu Tema Terpilih untuk lagu Secukupnya (Piala Maya 2020).
Baskara Putra anak bungsu dari tiga bersaudara. Laki-laki kelahiran 1994 silam ini menghabiskan masa-masa sekolah di SMP dan SMA Pangudi Luhur, Jakarta. Seperti remaja laki-laki pada umumnya, Baskara hobi bermusik sejak duduk di bangku SMA dengan membentuk band yang beberapa kali main di pentas seni walau hanya memainkan lagu orang lain. Sejak remaja sebenarnya Baskara tertarik dengan seni desain. Tujuan utama setelah lulus SMA adalah bisa meneruskan studi Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Bandung. Baskara juga sempat memperoleh beasiswa kuliah di luar negeri namun ia akhirnya memilih Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Sejak masih jadi mahasiswa, Baskara beberapa kali ikut proyek dosen di luar kampus, salah satunya bikin agensi kecil-kecilan. Lulus kuliah, ia diterima kerja di British Council di Divisi Seni dan Budaya. Setelah setahun jadi pekerja kantoran, Baskara pindah kerja dan bergabung dengan Double Deer, sebuah label rekaman independen. Di tengah perjalanan, kelompok musik .Feast yang dibentuk Baskara saat masih kuliah, tiba-tiba meledak sukses. Baskara kemudian memutuskan resign lalu bersama rekan-rekannya mereka mendirikan Sun Eater, sebuah label rekaman dan usaha rintisan di bidang musik yang tak hanya menaungi Feast, Hindia, Lomba Sihir, tapi juga sejumlah musisi muda lainnya.
Mundur ke tahun 2013 saat masih kuliah, Baskara mendirikan kelompok musik rock dengan nama .Feast beranggotakan sekumpulan mahasiswa FISIP; Baskara Putra (vokal, synth), Adnan Satyanugraha Putra (gitar), Dicky Renanda Putra (gitar), Fadli Fikriawan Wibowo (bass), dan Adrianus Aristo Haryo (drum). Mereka melalui jalur terjal di awal perjalanan karier, sebelum mulai mendapat perhatian pada 2017 lewat album perdana, Multiverses. Kelompok musik .Feast awalnya tidak dijalani serius, ada masanya grup tersebut vakum selama satu tahun. Keberhasilan baru datang saat .Feast merilis single berjudul Peradaban dan Berita Kehilangan pada 2018. Konsep dan konsistensi .Feast menuai sambutan dan dukungan solid dari para Kelelawar, sebutan penggemar mereka. Eksplorasi musik .Feast juga beberapa kali menjadi nominasi Anugerah Musik Indonesia (AMI Awards) serta mendapat ulasan positif dari pemerhati musik. Perjalanan karier .Feast dimulai tidak mulus, pergerakan mereka kerap dianggap anomali. Namun ribuan pengikut dan ratusan ribu pendengar adalah bukti bahwa band ini berkisah untuk khalayak luas dan menjadi band yang lantang membicarakan berbagai keadaan. “Lingkungan pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik pasti berpengaruh terhadap karya-karya .Feast tentang bagaimana kami menyuarakan dan menyindir persoalan sosial politik di negeri ini. Kehidupan kampus FISIP membantu saya untuk bisa punya pola pikir seperti ini dan bisa menulis kayak sekarang. Bersama .Feast, saya berusaha konsisten menulis lirik tentang situasi yang terjadi di masyarakat, termasuk sesuatu yang terkait politik dalam negeri. Segala isu yang disuarakan mendapat sokongan musik yang bergelora, modern, dan megah. Ada sisi geram dari musik .Feast namun gampang dicerna sekaligus mudah dibuat untuk berdansa,” tutur Baskara.
Usai membawa .Feast ke tingkat nasional dengan kerja keras bertahun-tahun, di penghujung tahun 2018, Baskara Putra memulai proyek solonya, Hindia, dengan merilis lagu berjudul No One Will Find Me dan album mini berjudul Tidak Ada Salju di Sini yang dikerjakan bersama para kolaborator; Petra Sihombing, Krautmilk, Enrico Octaviano, dan Rubina. Dengan memilih Hindia sebagai nama panggung, Baskara disebut-sebut mampu menyuarakan keresahan dan kegelisahan banyak generasi muda saat ini terhadap kehidupan. Berbeda dengan .Feast yang secara satir menyindir persoalan politik di Indonesia, lirik-lirik musik Hindia banyak membicarakan persoalan yang sering kali dialami oleh kaum muda. Perihal hidup menjadi susah karena harga barang serba mahal, tekanan kerja yang semakin berat, bahwa hidup mesti bahagia karena dunia semakin babak belur, serta fenomena dicemooh banyak orang dan takut dihakimi karena punya mimpi yang besar.
Banyak musisi lain menyoroti persoalan yang sama, namun salah satu kekuatan Hindia ada di penulisan liriknya. Ditulis pada masa-masa sulit dalam kehidupan pribadi sang musisi, lagu-lagu dalam album Menari dengan Bayangan membuat banyak orang jadi bisa melihat sedikit kisah Baskara. Cerita cinta monyet, kegamangan terhadap tujuan hidup, gangguan kecemasan, dan sekelumit kisah hidup yang justru menuai atensi dari banyak penggemar Hindia yang menemukan katarsis melalui lagu-lagu seperti Apapun yang Terjadi dan Rumah ke Rumah. Terlepas dari lirik musik yang sangat personal dan bernuansa pesimis realistis, single berjudul Evaluasi dan Secukupnya terbukti menarik banyak pendengar dan berbagai pertunjukan konser Hindia nyaris tak pernah sepi penonton. “Saya merasa kita semua sangat terbiasa dengan lirik yang indah dan puitis. Terutama di Indonesia. Kosa kata dan topik lagu-lagu harus dibikin umum agar semua orang bisa memahami dan merasakan. Bukannya lagu-lagu tersebut jelek tapi justru dalam keadaan seperti itu ada banyak banget keadaan-keadaan di hidup kita yang tidak diwakilkan oleh sebuah lagu. Sedangkan menurut saya, kesenian itu tidak harus selalu indah. Saya pun mencoba menulis seperti sedang menulis jurnal dengan risiko pasti liriknya jadi sangat spesifik dan diksi yang digunakan bukan kata-kata puitis karena memang harus menggambarkan suatu keadaan dengan sejelas mungkin. Lagu-lagu Hindia itu ditulis buat diri saya sendiri dan jadi satu-satunya proyek yang proses penulisannya tidak pakai banyak mikir. Saya hanya berusaha menulis lagu biasa buat orang biasa. Kalau akhirnya Hindia memperoleh delapan juta pendengar di layanan musik digital, berarti bukan hanya saya yang merasa lelah dengan lagu-lagu optimisme. Saya senang kalau lirik saya bisa relatable dan karya musik saya bisa terhubung dengan banyak pendengar,” tuturnya.
Dulu saat pandemi, banyak acara musik terhenti namun Hindia ingin tetap produktif. Selain merekam dan merilis album untuk Hindia dan Feast, Baskara mendirikan Lomba Sihir yang awalnya band session player Hindia. “Sifat manusia itu berlapis-lapis, tidak mungkin seseorang hanya punya satu sifat tunggal. Semakin kenal sama seseorang, semakin kita tahu sifat orang itu ada banyak lapisan. Suka murung tapi juga bisa humoris, bisa marah-marah tapi juga tidak sulit dibuat tertawa. Saya rasa saya di .Feast, Hindia, Lomba Sihir seperti manusia normal di kehidupan sehari-hari. Ada tempatnya saya marah-marah, lain waktu saya bicara serius, dan kadang saya tertawa senang. Dan ada banyak persoalan yang ingin saya bicarakan tapi bukan masalah bersama, jadi tidak bisa saya kerjakan di .Feast atau Lomba Sihir karena saya tidak ingin kedua band tersebut lagu-lagunya berisi masalah hidup vokalisnya doang. Saya memperlakukan Hindia lebih sebagai jurnal, tempat bercerita tentang proses hidup bahwa saya sedang mengeluh tapi dalam bentuk kesenian,” ujarnya.
Pilihan kiprah untuk bermusik, suka tidak suka, membawa Baskara Putra pada momen-momen pembelajaran tiada henti. Tidak hanya perihal kehadiran basis penggemar yang cukup besar, tapi juga jumlah haters yang semakin meningkat seiring bertambahnya popularitas. “Banyak hal yang dulu bisa saya nikmati sehari-hari tapi tak bisa lagi saya jalani sekarang, misalnya jalan-jalan di mall. Saya selalu ingin bisa menyapa dan melayani permintaan foto kawan-kawan tapi kadang ada kalanya kita enggak punya energi untuk melakukan itu semua. Basis penggemar menjadi salah satu bagian penting dari perjalanan karier bermusik saya. Meskipun kadang ada yang cukup militan, ada gagasan seolah-olah orang yang kita gemari itu tidak boleh salah dan jangan sampai ada cacatnya. Jadi ketika sang idola bikin kesalahan, penggemarnya membela mati-matian. Padahal kita harus terbiasa melihat idola sebagai manusia biasa. Manusia kan tempatnya salah jadi pasti selama dia hidup dia akan bikin kesalahan. Jadilah pendengar, bukan pembela. Caranya dengan mendukung dalam bentuk menikmati karyanya dan membeli produknya agar seniman yang kita gemari bisa terus berkarya. Lagipula kritik dengan argumentasi yang valid itu penting untuk pertumbuhan seseorang. Saya tidak pernah bermasalah dengan kritikan sekeras apa pun, asal jangan bawa-bawa keluarga dan orang terdekat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan karya saya. Orang bilang suara saya tidak bagus juga tidak apa-apa, saya bahkan sudah tahu dari dulu kalau suara saya tidak bagus makanya saya rajin belajar supaya bisa tetap berkarya. Saya malah suka dengan perdebatan karena kondisi alamiah dari menaruh sesuatu di publik berarti orang—orang akan memperdebatkannya. Buat saya, karya yang bagus itu polarisasi dan tidak ada konsep jalan tengah. Pilihannya hanya dua, Anda sangat suka atau Anda benci banget. Ada perdebatan itu bikin perjalanan karier jadi seru karena artinya sebuah karya memaksa Anda untuk punya opini. Saya malah tertegun kalau ada orang bilang karya saya biasa-biasa saja, tidak jelek tapi juga tidak bagus karena berarti karya saya belum bisa ‘memaksa’ orang untuk punya opini,” tutup Baskara.
Rianty Rusmalia
Fotografer: Zaky Akbar
SUMBER: https://elle.co.id/life/baskara-putra-hindia-menggebrak-lanskap-musik-lewat-lirik-pesimis-namun-realistis.